Etika Kerukunan Umat Beragama
A. Pendahuluan
Realitas Indonesia sebagai bangsa yang plural merupakan sebuah fitrah yang harus disyukuri keberadaanya. Kekayaan akan khazanah budaya, agama, ras, bahasa dan lainnya merupakan bukti bahwa manusia memiliki keanekaragaman dan memang harus hidup dalam kemajemukan. Namun sayangnya, kondisi ini oleh sebagian kelompok dianggap sebagai sesuatu yang “mengancam”, padahal tidaklah demikian.
Nyatanya, Rasulullah hidup dalam kemajemukan suku dan agama di Madinah, namun dapat membangun kehidupan yang harmonis antar suku dan agama yang dituangkan dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah atau yang disebut dengan Madina Charter ini merupakan bentuk komitmen bersama untuk saling menghargai kemajemukan.
Namun, melihat kondisi hubungan antarumat beragama di Indonesia dewasa ini, perlu untuk membuka kembali sebuah pemikiran ulama Indonesia yang sangat brilian dan futuristik yang harus kembali digaungkan untuk menjawab tantang kebangsaan.
Pemikirannya tidak saja menjadi tepat untuk menjawab permasalahan umat ketika itu, namun juga tepat untuk diaplikasikan pada saat ini dan masa-masa selanjutnya. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa pemikiran ulama Islam di Indonesia mampu “melampaui zamannya”.
B. Etika Kerukunan Umat Beragama
Para pemuka agama-agama saat berkumpul pada “Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa” pada 8-10 Februari 2018 di Grand Sahid Jaya diikuti sekitar 250 pemuka agama-agama dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam musyawarah tersebut menghasilkan rumusan yang menitikberatkan pada pentingnya sikap saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama. Rumusan ini penting dipahami dan ditaati dalam menjaga kerukunan Indonesia yang majemuk.
Berikut ini enam rumusan pandangan dan sikap umat beragama tentang etika kerukunan antar umat beragama:
- Setiap pemeluk agama memandang pemeluk agama lain sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan dan saudara sebangsa. Kita mengenal istilah ukhuwah basyariyah atau ukhuwah insaniyah adalah sebuah prinsip yang dilandasi bahwa sesama manusia adalah bersaudara karena berasal dari ayah dan ibu yang satu, yakni Adam dan Hawa. Hubungan persaudaraan ini merupakan kunci dari semua persaudaraan, terlepas dari status agama, suku bangsa atau pun skat geografis, karena nilai utama dari persaudaraan ini adalah kemanusiaan. Hal ini mengingatkan kembali pada Sahabat Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa “dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudara dalam kemanusiaan.” Artinya, bahwa kemanusiaan adalah nilai tertinggi dalam posisinya sebagai manusia. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. QS. al-Hujurat ]: 13
- Setiap pemeluk agama memperlakukan pemeluk agama lain dengan niat dan sikap baik, empati, penuh kasih sayang dan sikap saling menghormati. Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agam anya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya" Sehigga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.
- Setiap pemeluk agama bersama pemeluk agama lain mengembangkan dialog dan kerjasama kemanusiaan untuk kemajuan bangsa. Kegiatan dialog lintas agama bertujuan : pertama, ekplorasi nyata tentang semangat kerukunan umat beragama, wawasan kebangsaan, menebarkan pesan damai. Kedua, penguatan, peningkatan dan pemeliharan kerukunan umat beragama. Ketiga, penguatan komponen kelembagaan lintas agama ( Ormas Agama, Majelis Agama, Muballigh/Pendeta,Pastor, Bikhu, pandita,dll) sebagai motor penggerak gerakan cinta kerukunan umat beragama. Dan keempat adalah urgensi pemeliharaan kerukunan umat beragama.
- Setiap pemeluk agama tidak memandang agama orang lain dari sudut pandangnya sendiri dan tidak mencampuri urusan internal agama lain. Contoh : Dalam berdoa, setiap agama mempunyai tata cara sendiri dalam berdoa ; Setiap agama juga mempunyai sejarah sendiri; Makanan halal haram setiap agama berbeda. dll
- Setiap pemeluk agama menerima dan menghormati persamaan dan perbedaan masing-masing agama dan tidak mencampuri wilayah doktrin/ akidah/ keyakinan dan praktik peribadatan agama lain. “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun : 6)
- Setiap pemeluk agama berkomitmen bahwa kerukunan antarumat beragama tidak menghalangi penyiaran agama, dan penyiaran agama tidak menggangu kerukunan antar umat beragama. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
C. Penutup
Kerukunan antar umat beragama adalah sikap saling mengakui, menghargai, toleransi yang tinggi antar umat beragama dalam masyarakat multikultural sehingga umat beragama dapat hidup rukun, damai & berdampingan. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih. (Artanti Laili Zulaiha)
Komentar
Posting Komentar