Bicara Baik Di Tahun Politik
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan
secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga
dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah
usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori
klasik Aristoteles).
Berbicara tentang politik takkan lepas dari yang
namanya politisi. Politisi adalah moralis "pemintal kata-kata". Dalam
pandangan idealis Plato, sejatinya kata-kata yang keluar dari mulut politisi
adalah sarana mengembangkan kesadaran kemanusiaan untuk menyampaikan kebenaran
dan keyakinan positif. Meski pada sisi yang lainnya, menurut filsuf Perancis,
Voltaire, "politik adalah seni merancang kebohongan". Kemampuan
berbicara adalah salah satu kemampuan dasar manusia yang paling esensial yang
membedakan dengan makhluk lainnya. Akan selalu ada dinamika kalau berbicara
terkait politik, bahkan selalu menimbulkan perdebatan ringan, hingga konflik.
Nabi Muhamad SAW mengingatkan kita, "Jika kita
tidak mampu berbicara baik, maka lebih baik diam." Dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia
diam,” (HR. Bukhori).
Terjemah : “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.
Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya.”
Bahayanya lidah juga dingatkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu yang
mengingatkan, "Seseorang mati karena tersandung lidahnya. Dan, seseorang
tidak mati karena tersandung kakinya. Tersandung mulut akan membuat (pening)
kepala, sedang tersandung kaki akan sembuh perlahan."
Bicara baik dalam berpolitik juga penting bagi nation branding Indonesia.
Nation Branding adalah meningkatkan persepsi positif masyarakat dalam negeri
dan masyarakat dunia mengenai Bangsa Indonesia dan memberikan dampak ekonomi
yang positif bagi Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan ekspor dan
perdagangan dalam negeri Indonesia.
Dinamika komunikasi politik kita saat ini diwarnai oleh gambaran buram
yang diwarnai oleh perilaku aktor politik yang nyaris mendominasi kita setiap
detik, setiap menit, setiap jam dalam hari-hari dengan mengumbar kata-kata
persuasif, klise, dan terkadang bohong, disertai foto narsistik, dan seringkali
tidak memberi inspirasi bermakna. Saat ini dalam panggung politik Indonesia
telah terjadi banyak distorsi (pemutarbalikan fakta) yang penuh kegaduhan dan
kepalsuan. Realitas politik saat ini menjadikan masyarakat awam bingung dalam memaknai
realitas yang nyata atau maya. Yang asli atau manipulatif dalam dunia yang
melebur penuh kegaduhan yang disumbang oleh para politisi. Juga konflik yang
berkembang di media sosial. Kita prihatin betapa mudahnya aktor dan simpatisan
politik menuliskan umpatan, makian, dan kata-kata kotor lainnya hanya untuk
mengungkapkan perbedaan pandangan, pendapat bahkan orientasi politiknya yang
seolah tanpa norma dan aturan.
Berbicara yang baik terkait politik yang dilakukan oleh masyarakat dan
terutama politisi akan senantiasa hadir dalam ruang dan waktu dalam beragam
konteks kepentingan. Seorang politisi yang telah mampu berbicara baik,
hakikatnya telah melakukan personal branding (sebuah cara memasarkan diri atau
imej kita secara individu) bagi dirinya termasuk bagi partainya. Selanjutnya
menumbuhkan reputasi baik bagi diri, partai bahkan bagi hadirnya Indonesia yang
lebih baik.
Tahun politik, mengapa selalu menggelitik. Karena semua politisi akan
beradu taktik, juga intrik, lewat apa saja demi terpenuhinya hasrat politik.
Ada yang seolah-olah mencitrakan dirinya sebagai tokoh heroik. Ada juga yang
merubah penampilannya jadi nyentrik. Dan ada juga yang tiba-tiba merubah
dirinya jadi ahli agama, padahal kemampuannya baru setitik. Tapi ya, beigitulah
namanya juga usaha, yang tentu saja tujuannya agar masyarakat bisa menjadi
simpatik. Kemampuan setitik tak apa, yang penting bicara lantang dan selalu
mengkritik.
Perlu diingat juga bahwa tahun politik itu rentan dengan konflik. Tapi
ingat, jangan sampai perbedaan pilihan politik, kita menjadi panik, apalagi
sampai beradu fisik. Tidak perlu, karena nyatanya politisi yang dibela
mati-matian, tak akan selalu ingat dengan yang di bawah ketika mereka sudah
mendapatkan kursi yang ‘cantik’. Bahkan, mungkin mereka yang kita anggap
sebagai musuh politik, bisa jadi sedang asyik duduk, merokok sambil menyeruput
Coffeemix.
Yang sangat disayangkan, adalah
ketika agama ditumpangi untuk kepentingan politik. Karena tatanan agama yang
tadinya menentramkan, berbalik mengusik. Mau setuju tapi tak selalu sesuai dengan
nurani, menolak tapi takut dianggap musyrik? Dan yang terjadi ketika agama
ditumpangi politik adalah banyaknya tatanan yang terbalik. Contohnya, mimbar
agama yang tadinya menjadi tempat yang sejuk berubah menjadi terik. Karena di
mimbar itu, isinya dipenuhi hujatan dan intrik untuk lawan politik.
Jadi, posisikan politik sebagaimana umumnya politik. Berbeda pilihan
politik dengan yang lain adalah hal wajar, tak usah dijadikan alasan untuk
saling ‘mencabik’. Tetaplah berbicara yang baik, membuat status medsos yang
baik, berkawan dengan baik dan jangan terlalu fanatik.
Penulis :
Artanti Laili Zulaiha
Komentar
Posting Komentar